Cari Blog Ini

Minggu, 12 Februari 2012

ISLAM SEBAGAI SARANA STUDI DAN PENELITIAN

BAB III
ISLAM SEBAGAI SARANA STUDI DAN PENELITIAN

A.    ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI
Islam merupakan agama yang memiliki ajaran-ajaran yang sangat holistic dan komprehensif. Ajaran-ajaran itu menjangkau seluruh tatanan aspek kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan seluruh ajarannya memiliki relevansi terhadap fitrah manusia. Ajaran-ajaran yang begitu luas dan mendalam itu dapat dibingkai menjadi kaplingan ilmu-ilmu yang memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan disiplinnya. Dari sudut kapling ilmu-ilmu inilah Islam memiliki keunggulan, karena keberadaanya sebagai objek studi mudah dikaji secara mendalam dan akurat bagi setiap orang yang memiliki minat dalam pengkajian Islam.
Islam sebagai objek studi dapat dibedakan ke dalam tiga aspek, yakni sebagai berikut :
1.    Islam sebagai sumber (mashdar), yaitu pengkajian Islam yang berpusat kepada isi kandungan materi Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw, yang kedudukan sebagai sumber utama ajaran Islam. Apa saja dimensi kehidupan manusia yang hendak dikaji oleh setiap orang dalam sudut pandang Islam, maka bahan bedah materinya adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua sumber ini adalah landasan asasi bagi setiap pihak yang ingin mengkaji ajaran Islam.
2.    Islam sebagai pemikiran, yaitu mengkaji Islam yang telah mengalami pengembagan dengan berpusat pada hasil olah-pikir para ulama dan cendikiawan muslim tentang masalah tertentu, sebagai perluasan pemahaman terhadap keumuman konsep Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Pengkajian dalam aspek ini diwakili oleh ilmu fikih, ushul fikih, ilmu kalam, ushuluddin, tasawuf, dan sebagainya.
3.    Islam sebagai pengamalan, yaitu pengkajian Islam yang lebih terfokus pada pengejewatahan/aplikasi nilai-nilai keIslaman dalam praktek kehidupan nyata sehari-hari. Pengkajian dalam aspek ini diwakili oleh ilmu tarbiyah (pendidikan), ilmu dakwah, ilmu seni, ilmu kedokteran, ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan sebagainya.

B.    AGAMA SEBAGAI GEJALA BUDAYA DAN GEJALA SOSIAL
Pada awalnya ilmu hanya ada dua : ilmu kealaman dan ilmu budaya. Ilmu kealaman, seperti fisika, kimia, biologi, dan lain-lain mempunyai tujuan utama mencari hukum-hukum alam dan mencari keteraturan-keteraturan yang terjadi pada alam. Suatu penemuan yang dihasilkan oleh seseorang pada suatu waktu mengenai suatu gejala atau sifat alam dapat dites kembali oleh peneliti lain pada waktu yang berbeda, dengna memperhatikan gejala sesak. Contoh, kalau sekarang air mengalir dari atas, besok kalau dites lagi juga begitu. Itulah itu dari penelitian dalam ilmu-ilmu eksakta, yakni mencari keterulangan dari gejala-gejala, yang kemudian diangkat menjadi teori dan hukum.
Sebaliknya, ilmu budaya mempunyai sifat tidak berulang, tetapi unik. Contoh, budaya Kraton Yogya unik buat Yogya, batu nisan seorang tokoh sejarah unik untuk yang bersangkutan, dan sebagainya. Disini tidak ada keterulangan.
Kemudian, diantara penelitian kealaman dan budaya itu terdapat penelitian ilmu-ilmu sosial. Penelitian ilmu sosial berada di antara ilmu budaya dan ilmu kealaman, yang mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangannya. Karena itu, penelitian ilmu sosial mengalami problem dari segi objektivitasnya. Benarkah hasil penelitian sosial itu objektif dan dapat dites kembali keterulangannya? Dalam menjawab pertanyaan ini ada dua aliran. Pertama, aliran bahwa penelitian sosial lebih dekat kepada penelitian budaya, berarti sifatnya unik. Kedua, aliran yang mengatakan bahwa ilmu sosial lebih dekat pada ilmu kealaman, karena fenomena sosial dapat berulang terjadinya dan dapat dites kembali. Kalau suatu kelompok masyarakat diberikan suatu stimulan, dan mereka kemudian memberikan reaksi tertentu itu dapat berulang pada kelompok masyarakat lain dengan stimulan yang sama. Karena itu, kata pendapat kedua, ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu kealaman, sebab ternyata juga mempunyai keteraturan-keteraturan. Untuk mendukung pendapat mengenai keteraturan itu, dalam ilmu sosial digunakan ilmu-ilmu statistik yang juga digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman. Maka sekarang ada ilmu statistic khusus untuk ilmu-ilmu sosial, untuk mengukur gejala-gejala sosial secara lebih cermat dan lebih baku.
Inti ilmu kealaman adalah postivisme. Sesuatu itu baru dianggap sebagai ilmu kalau diamati (observable), dapat diukur (measurable) dan dapat dibuktikan (verifiable). Sebaliknya ilmu budaya hanya dapat diamati, kadang-kadang tidak dapat diukur, apalagi diverivikasi. Ilmu sosial yang memandang dirinya lebih dekat kepada ilmu alam mengatakan bahwa ilmu sosial dapat diamati, diukur dan diverifikasi. Untuk itu, para pakar sosiologi Universitas Chicago mengembangkan sosiologi kuantitatif yang lebih menekankan pada perhitugan-perhitungan statistik. Di kalangan sosiologi Indonesia juga ada dua kelompok: kelompok kualitatif dan kelompok kuantitatif. Keduanya mempunyai kelemahan dan kekuatan.
Timbulnya pertanyaan: Bisakah agama didekati secara kualitatif atau kuantitatif ? jawabannya, bisa. Agama bisa didekati secara kuantitatif dan kualitatif sekaligus, atau salah satunya, tergantung agama yang sedang diteliti itu dilihat sebagai gejala apa.
Ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau kita hendak mempelajari suatu agama. Pertama, Scripture atau naskah-naskah sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut, pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya, ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat seperti mesjid, gereja, lonceng, peci, dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gejera Khatolik, Gereja Protestan, Syi’ah, dan lain-lain.
Penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau beberapa dari lima bentuk gejala ini. Orang boleh mengambil tokohnya, seperti                K.H.A. Dahlan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Harun Nasution dan lain-lain sebagainya sasaran studinya. Studi semacam ini biasanya membahas tentang kehidupan dan pemikiran tokoh itu, termasuk bagaimana tokoh itu mencoba memahami dan mengartikulasikan agama yang diyakininya.
Dalam penelitian mengenai naskah atau sumber-sumber ajaran agama yang pertama diteliti adalah persoalan fiologi, dan kedua adalah isi naskah yang ada. Misalnya, dalam Islam membahas Al-Qur’an dan isinya, kritik atas terjemahan orang lain, kitab tafsir atau penafsiran orang seseorang, kitab hadis, naskah-naskah sejarah agama, dan sebagainya. Orang dapat pula meneliti ajaran atau pemikiran-pemikiran yang berkembang sepanjang sejarah suatu agama (Islam).
Kalau orang hendak meneliti peralatan agama, maka tergantung alat apa yang akan diteliti. Kalau yang hendak diteliti adalah ka’bah, alat ritus dalam Islam, misalnya orang dapat meneliti sejarah ka’bah, kapan didirikan, siapa yang membangun, bagaimana bentuknya, berapa tingginya, berapa lebar kelambunya, dari bahan apa kelambunya dibuat, dan sebagainya.
Demikianlah alat-alat agama dapat menjadi sasaran penelitian. Namun perlu diperhatikan, bahwa ada yang betul-betul alat agama, dan ada yang sebenarnya dianggap sebagai alat agama. Misalnya peci, dikampung, kalau orang pergi ke mesjid tidak memakai peci dianggap kurang Islam. Tetapi ternyata peci juga digunakan untuk upacara sumpah jabatan dan dipakai bukan hanya oleh orang Islam. Bahkan didaerah batak (Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Simalungun, Dairi dan sekitarnya) yang penduduknya banyak beragama Kristen, umumnya mereka juga memakai peci. Jadi konsep peci yang dikampung tadi dianggap sebagai alat agama ternyata berbenturan dengan konsep peci ditempat lain. Ditempat lain, peci lebih bersifat symbol kebangsaan daripada keagamaan.
Dalam Islam juga terjadi hak yang sama. Di dunia ini sebenarnya tidak ada yang sakral. Di dalam konsep Islam benda-benda sakral sebenarnya tidak ada. Mengenai hubungan orang muslim dengan Hajar Aswad, misalnya, Umar Bin Khattab mengatakan: “Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak akan menciummu. Kamu hanya sebuah batu sama dengan batu-batu yang lain”. Dari peristiwa ini maka nilai Hajar Aswad bagi seorang pengamat agama terletak pada kepercayaan oran Islam yang ada didalamnya. Islam tentu mensakralkan wahyu Allah. Tetapi ada perbedaan, apakah wahyu itu tulisan, yang dibacakan, atau isinya. Jika yang disebut wahyu itu adalah isi atau bacaannya, maka bentuk-bentuk tulisan Al-Qur’an atau penggambaran titik dan harkat, apalagi kaligrafi Al-Qur’an, adalah jelas merupakan gejala budaya yang dapat dijadikan objek penilaian.
Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Pada zaman dahulu, sosiologi agama mempunyai hubungan timbal-balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan, sosiologi agama mempelajari bukan sosial hubungan timbal-balik itu, melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun juga, ada juga pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa lahirnya teori Syi’ah, Khawarij, Ahli Sunnah Wal Jama’ah sebagai produk pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tapi anggapan bahwa Ali sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik.
Oleh karena itu, dapat diteliti bagaimana perkembangan masyarakat industri mempengaruhi keagamaan. Contohnya: Seseorang hidup dikampung dan disebelah rumahnya dekat dengan mesjid. Jika ia tidak pernah kelihatan shalat Jum’at disitu, ia dianggap kurang saleh dan kurang beragama. Lain halnya kalau kita berkehidupan dikota, apabila kita tidak melakukan shalat Jum’at, maka orang hanya berpandangan biasa, dan tidak dianggap sebagai orang yang kurang pendidikan agama.
Contoh lain dan ini sekaligus menjadi tantangan para pemuka agama. Sekarang di Jawa Timur sudah ada usulan agar pabrik beroperasi selama 24 jam tanpa henti. Sementara shalat Jum’at yang konvensional dikerjakan di satu tempat hanya satu kali. Kalau pabrik harus berhenti selama shalat Jum’at, akan menimbulkan kerugian atau mengurangi produktivitas. Pertanyaanya, bagaimana kalau shalat Jum’at dilakukan secara bergantia. Misalnya, ada pelaksanaan shalat Jum’at jam 12 wib, ada yang jam 13.00 wib, dan ada pula yang jam 14.00 wib. Dengan demikian, pabrik akan berjalan terus menerus. Kalau shalat Jum’at bergiliran itu dijawab tidak boleh, kita berarti berpendapat bahwa Islam tidak mengakomodir perkembangan industri. Padahal waktu Zuhur itu mulai dari jam 12.00 wib, sampai jam 15.30 wib. Memang belum ada yang memfatwakan seperti itu. Hanya saja perlu dipertimbangkan, maka kira-kira lebih baik antara tidak shalat Jum’at dengan shalat Jum’at secara bergiliran. Lagi pula kalau diperhatikan, sebetulnya secara tidak langsung kita telah melakukan shalat Jum’at secara bergiliran juga. Sebab mesjid IAIN, misalnya, berhenti shalat Jum’at pada jam 12.30 wib, Mesjid sebelahnya jam 12.40 wib. Mesjid sebelahnya lagi jam 12.50 wib, dan seterusnya. Hanya saja pergiliran disini tidak disengaja dan perbedaan waktunya hanya sedikit.
Sekedar contoh dari tuntutan seperti ini adalah shalat Idul Fitri di Los Angles, Amerika Serikat. Di kota ini, yakni di Islamic Centernya shalat Idul Fitri jam 07.00 dan ada yang jam 09.00 ditempat yang sama, sebab kalau semua datang pada waktu yang bersamaan, tempat parkirnya tidak cukup, karena hampir semua orang membawa kendaraan. Pertanyaannya, sahkah shalat Idul Fitri dilakukan secara bergiliran ? jawabannya sah. Alasannya, bahwa shalat Idul Fitri adalah waktu Dhuha. Jadi sepanjang waktu dhuha shalat tersebut sah hukumnya. Di Indonesia belum ada kebutuhan untuk itu, karena tempat parkir masih cukup luas. Di Negara-negara industri seperti tadi, di Negara-negara dimana tempat (space) sudah menjadi kesulitan tersendiri, tuntutan-tuntutan itu ada. Perkembangan masyarakat seperti ini memerlukan dan menuntut pemikiran-pemikiran agama baru, dalam hal ini dibidang hukum ibadat. Perbedaan geografi dan wilayah juga dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang menuntut pemikiran baru keagamaan, yang selanjutnya dapat menjadi sasaran penelitian.

C.    ISLAM SEBAGAI PRODUK SEJARAH DAN SASARAN PENELITIAN
Perlu ditegaskan, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk sejarah. Diatas sudah disebutkan, teologi Syi’ah adalah bagian dari wajah Islam produk sejarah. Konsep khulafah al-Rasyid adalah produk sejarah, karena nama ini muncul belakangan. Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah dan modern adalah produk sejarah. Orang dapat berkata, andaikata Islam tidak terus di Spanyol, sejarahnya lain lagi. Andaikata Islam tidak bergumul dengan budaya Jawa, sejarahnya di Indonesia akan lain pula. Andaikata Inggris tidak datang ke India, sejarah Islam di anak benua itu akan lain lagi. Demikianlah produk sejarah, paham Muktazilah, kembali kepada pemikiran, sebetulnya juga produk sejarah.
Andaikata Khalifah Harus al-Rasyid tidak meminta Imam Malik menulis al-Muwatta’, kitab hadis semacam itu mungkin tidak ada. Karena itu Al-Muwatta’ sebagai kumpulan hadis juga merupakan produk sejarah. Sejarah politik, ekonomi dan sosial Islam, sejarah regional Islam di Pakistan, di Asia Tenggara, di Indonesia. Di Brunai Darussalam dan dimanapun juga adalah bagian dari Islam sebagai produk sejarah. Demikian juga filsafah Islam, kalam, fikih, ushul fikih juga produk Islam sejarah. Akhlak sebagai ilmu, adalah produk sejarah. Akhlak sebagai nilai yang bersumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisir akhlak adalah produk sejarah. Kebudayaan Islam klasik, tengah, modern, arsitektur Islam, seni lukis, musik, bentuk-bentuk mesjid Timur Tengah dan di Jawa, bentuk pagoda di Jawa merupakan bagian kebudayaan Islam yang dapat dijadikan objek studi dan penelitian. Demikian juga seni dan metode bacaan Al-Qur’an yang berkembang di Indonesia adalah produk sejarah. Naskah-naskah Islam, seperti undang-undang malaka, serat-serat keagamaan di berbagai tempat, seperti di Jawa dan diluar Jawa, Maroko, Kairo, dan dimana-maan adalah produk sejarah.
Demikianlah, banyak bangunan pengetahuan kita tentang Islam, sebenarnya adalah produk sejarah. Karena itu, semuanya dapat dan perlu dijadikan sasaran penelitian.
BAB IV
AGAMA DALAM PENELITIAN BUDAYA DAN SOSIAL

A.    AGAMA SEBAGAI SASARAN PENELITIAN BUDAYA
Terlebih dahulu dicatat, bahwa dengan meletakkan agama sebagai sasaran penelitian budaya tidaklah berarti agama yang diteliti itu adalah hasil kreasi budaya manusia; sebagian agama tetap diyakini sebagai wahyu dari Tuhan. Adapun yang dimaksudkan adalah bahwa pendekatan yang digunakan disitu adalah pendekatan penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian budaya.
Yang termasuk penelitian budaya, seperti disinggung sebelumnya adalah penelitian tentang naskah-naskah (filologi), alat-alat ritus keagamaan, benda-benda purbakala agama (arkeologi), sejarah agama, nilai-nilai dan mitos-mitos yang dianut para pemeluk agama, dan sebagainya.
Kalau sebelumnya dikemukakan beberapa contoh dengan uraian singkat, pada bagian ini ditulis contoh lain dengan uraian yang lebih panjang, yakni contoh penelitian sejarah. Dalam contoh ini, akan dianalisis naskah-naskah yang ada. Contoh yang akan diuraikan dalam kasus ini adalah penelitian tentang naskah Sirah Ibn Hisyam tentang orang yang pertama masuk Islam.
Para sejarawan berbeda pendapat mengenai siapa orang yang pertama dari sahabat Nabi yang masuk Islam. Ada yang mengatakan khadijah, ada yang mengatakan Ali bin Abi Thalib, dan ada yang mengatakan Abu Bakar Sidiq, dan ada juga yang menunjuk Zaid bin Haris. Sebab utama munculnya perselisihan pendapat dikalangan sejarawan adalah karena dengan mendapat status sebagai sahabat pertama yang masuk Islam, ia memiliki kehormatan tersendiri. Dalam hal ini yang kita bahas adalah satu sumber sejarah yang berjudul Sirah al-Nabi, karya Abdul Malik bin Hisyam (atau terkenal dengan Ibnu Hisyam) yang ditulis pada abad ke-8 H. dalam buku itu dikatakan bahwa sahabat pertama yang masuk Islam adalah Ali bin Abi Thalib, tanpa menyebut-nyebut nama Khadijah.
Adapun konsep metodelogi yang diuji dan ditetapkan disini meliputi sejarawan dan fakta yang dimilikinya, proses seleksi dari fakta-fakta kesejarahan itu, baik yang bersifat kritik eksternal maupun internal, dan seberapa jauh sejarawan sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu mempunyai dampak terhadap penafsiran sejarahnya.
Ada beberapa pendekatan dalam memahami dan menafsirkan sejarah Islam selama ini, diantarannya adalah sebagai berikut :
1.    Idealist Approach, yaitu memahami dan menafsirkan sejarah Islam dengan cara mengidealisasikannya sedemikian rupa sehingga seolah-olah dalam sejarah itu tidak ada cacatnya. Masa Khulafa al-Rasyidin, misalnya, dianggap sebagai masa tak tercatat, meskipun kita mengetahui bahwa disana terjadi juga pembunuhan khalifah dimasa itu. Pendekatan ini biasanya dimiliki oleh orang Islam yang nalarnya tertutup.
2.    Reductionist Approach, yaitu usaha memahami dan menafsirkan sejarah Islam dengan mengurangi apa yang semestinya. Pendekatan ini biasanya dimiliki oleh para orientalis dan musuh Islam.
Kedua pendekatan itu sama-sama mempunyai kelemahan karena tidak objektif. Sekarang ini perlu dikembangkan pendekatan baru yang objektif dan mampu melihat sumber-sumber sejarah sebagaimana adanya, tanpa menambah atau mengurangi. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh sejarahwan muslim yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi.
Dari segi materi, sejarah Islam seringkali lebih dilihat sebagai sejarah politik, bahkan kadang-kadang menjadi sejarah etnik tertentu. Cara pandang demikian tentu kurang tepat. Untuk itu, sudah waktunya dikembangkan pendekatan lain seperti regional approach. Dengan pendekatan-pendekatan baru ini diharapkan sejarah Islam akan dapat dilihat secara lebih komprehensif, dan Islam tidak menjadi indentik dengan politik atau etnik tertentu, suatu kesalahan yang sudah lama terjadi.

B.    AGAMA SEBAGAI SENDI SASARAN PENELITIAN SOSIAL
1.    Letak Ilmu Sosial
Umumnya, orang berpendapat bahwa ilmu sosial terletak diantara ilmu alam dan ilmu budaya. Hanya saja orang berbeda pendapat mengenai letak yang sebenarnya, apakah ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu alam atau ilmu budaya. Kuam strukturalis, termasuk didalamnya sebagian antropolog, cenderung meletakkan ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu budaya. Mereka melihat, tingkah laku sosial pada dasarnya selalu mengacu kepada aturan-aturan tingkah laku (ruler of behavior) yang berdasarkan atas pola ideal yang bersumber dari nilai. Karena itu, kunci memahami masyarakat adalah memahami nilai yang ada pada masyarakat itu, sehingga mereka lupa bahwa nilai itu sendiri merupakan produk interaksi sosial juga. Karena itu, muncul kaum positivis yang berpendapat bahwa memahami masyarakat dengan memahami nilainya merupakan perbuatan yang menduga-duga. Dalam hal ini mereka melihat metode verstehen juga sebagai perbuatan menduga-duga yang tak berdasar secara ilmiah. Bagi kaum positivis, memahami masyarakat haruslah dengan mengamati apa yang dapat dilihat, diukur dan dibuktikan sebagaimana halnya dalam ilmu pengetahuan alam. Kaum positivis meletakkan ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu pengetahuan alam. Prof. D.C. Marsh, guru besar dari University of Nottingham, dalam sebuah entrinya tentang sosial science dalam buku A Dictionary of Sociology,  yang diedit oleh Profesor G. Duncan Mitchell dari jurusan Sosiologi University of Exeter, menyatakan bahwa: “Sosial science refers to the application of scientific methods to the study of the intricate and complex network of human relationship and the forms of organization designed enable peoples to live together ini societies”
Ilmu sosial menunjukkan kepada penerapan metode ilmiah untuk mempelajari jaringan-jaringan hubungan manusia yang pelik dan rumit, dan bentuk-bentuk organisasi yang dimaksudkan agar orang dapat hidup bersama dalam masyarakat.
2.    Ilmu Sosial dan Teori
Perbedaan pandangan antara kaum strukturalis dan kuam positivis ini perlu dikemukakan karena mempunyai dampak langsung terhadap perbedaan tingkatan penggunaan teori dan pemilihan metode penelitian. Para ahli ilmu sosial, khususnya para sosiolog, sependapat bahwa teori merupakan perlengkapan ilmu yang sangat berguna, mengutip pendapat Prof. Goode dan Hatt, teori sedikitinya berfungsi untuk :
1)    Mendefinisikan orientasi utama dari suatu cabang ilmu dengan mengarahkan bentuk-bentuk data mana yang perlu diabstraksikan.
2)    Menawarkan suatu kerangka konseptual untuk mengarahkan fenomena mana yang perlu disitematisasikan, diklasifikasikan, dan dihubungkan satu sama lain.
3)    Meringkaskan sejumlah fakta menjadi generalisasi dan sistem generalisasi
4)    Meramal fakta, dan
5)    Menunjukkan kesenjangan yang ada dalam pengetahuan.
Para ahli ilmu sosial lain berpendapat bahwa penggunaan teori dalam suatu penelitian tidak perlu. Barney g. Glaser dan Anselm Stauss, dalam buku mereka berjudul The Discovery of Grounded Theory (Aldine Press, 1967) mengatakan, suatu penelitian sosial tidak perlu dan tidak boleh beranjak dari suatu teori, karena penelitian itu justru yang harus melahirkan teori. Bahkan Glaser dan Strauss menyatakan, menggunakan suatu hipotesis pun tidak diperlukan. Menurut pendapat mereka, penelitian yang beranjak dari suatu hipotesis mengakibatkan hasil atau penemuan yang cenderung sempit, yaitu menerima atau menolak hipotesis tersebut dan tertutup kemungkinan menghasilkan guru baru. Glaser Strauss tidak menolak perlunya hipotesis dalam penelitian, tetapi hipotesis yang mereka maksud adalah yang dibangun atas dasar data yang diperoleh setelah mengadakan penelitian lapangan dan bukan diperoleh setelah mengadakan penelitian lapangan dan bukan dirumuskan dibelakang meja sebelum penelitian dimulai. Beberapa hipotesis mungkin jatuh bangun selama penilaian lapangan berlangsung, dan hipotesis yang tetap tegak yang ditopang oleh data akhir dari lapangan penelitian itulah yang akan menjadi hasil penelitian, dan sekaligus itulah teori hasil penelitian. Inilah yang disebut Glaser dan Strauss dengan grounded theory.
Kalau demikian, dimana peranan literatur tentang teori dalam penelitian seperti itu? Jawabnya, teori hanya berfungsi mempertajam kepekaan (insight) si peneliti dalam melihat data. Pendapat Glaser dan Strauss tentang grouded theory ini sebenarnya merupakan protes bahkan pemberontakan terhadap orang-orang seperti Talcott Parsons yang oleh sebagian antropolog seperti tukang sulap, karena kesukaannya merumuskan teori dengan spekulasi tanpa mendasarkan pada data empirik.
Sebagian ahli ilmu sosial yang lainnya mempunyai pandangan yang lebih mengikat tetang teori. Bagi golongan ini, teori dapat dijadikan titik tolak penelitian untuk membatasi pengertian konsep-konsep, bahkan mengarahkan data apa yang perlu dikumpulkan, sehingga timbulah persoalan-persoalan validitas dan reliabilitas. Akibat lebih lanjut, penelitian seperti ini cenderung menjadi kuantitatif. Tetapi perlu dicatat, tidak semua penelitian kuantitatif memerlukan teori sebagaimana yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya yang melahirkan teori itu.

3.    Grounded Research : Sebuah Contoh Metode Penelitian Sosial.
Salah satu metode penelitian sosial yang dapat digunakan dalam penelitian agama adalah grounded research, metode grounded research adalah metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang diperoleh secara sistematis dengan menggunakan metode analisis komparatif konstan. Dari definisi tersebut terlihat ada tiga hal pokok yang menjadi ciri gruouded research, yaitu :
~    Adanya tujuan menemukan atau merumuskan teori
~    Adanya data sistematik
~    Dipergunakannya analisa komparatif konstan.

C.    Tujuan Merumuskan Teori
Merumuskan teori atas dasar data yang diperoleh merupakan tujuan utama dalam grounded research dan merupakan alternative lain dari metode-metode penelitian sosial yang ada selama ini, yang sering lebih bersifat verifikatif. Ada beberapa pertimbangan yang mendorong grounded research untuk merumuskan teori, yaitu :
a.    Menilai kegunaan suatu teori harus juga dilihat dari segi bagaimana dahulunya teori itu dirumuskan, disamping penilian tentang keruntuhan logika, kejelasan, kehematan, kepadatan, keutuhan, dan operasionalisasinya.
b.    Penelitian-penelitian sosial, khususnya sosiologi, selama ini lebih banya bersifat membuktikan kebenaran teori yang telah ada (verifikatif) dan kurang memberikan perhatian bagi penjelmaan teori baru. Hal ini akan berakibat mandegnya pemuculan teori-teori. Sedangkan perkembangan sosial itu sendiri tidak pernah akan berubah.
c.    Teori yang didasarkan atas data akan tahan lama dan sulit diubah walaupun setiap teori memerlukan perubahan atau reformulasi, seperti teori Birokrasinya weber dan teori Suicide-nya Durkheim, sebaliknya, teori-teori atas dasar dedukasi logis (bukan atas dasar data) yang didasarkan pada asumsi yang melayang (ungrouded assumptions) dapat menyesatkan para pemakainya.
d.    Teori yang dihasilkan oleh grounded research berdasar pada data, karena itu ia disebut dengan teori berdasar (grounded theory). Keuntungan grounded theory dibandingkan dengan teori dedukatif logis(logis deductive theory), ia dapat mencegah pemunculan dan penggunaan teori secara oportunistik karena selalu didasarkan dan dikendalikan oleh data.
e.    Penelitian verifikasi bertitik tolak dari suatu hipotesis atau teori yang telah dirumuskan sebelum penelitian dilakukan dan kemudian dibuktikan kebenarannya melalui penelitian. Sebaliknya, grounded research tidak bertolak dari suatu hipotesis atau teori, hipotesis justru muncul setelah penelitian dilakukan dan teori dibangun pada akhir penelitian. Dalam grouded research, pengetahuan teori yang dimiliki peneliti hanyalah untuk mempertajam kepekaan penelitian dalam melihat suatu data. Dengan demikian, grounded research akan memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi jenis atau warna teori yang akan muncul, sedangkan dalam penelitian verifikatif kemungkinan itu hanya dibatasi untuk menjawab benar atau tidaknya hipotesis atau teori yang telah dicanangkan.
Prosedur suatu penelitian atas dasar grounded research secara singkat dapat disebutkan dalam lima langkah sebagai berikut :
1.    Menemukan sasaran studi dan memilih kelompok-kelompok sosial yang hendak diperbandingkan yang sekaligus akan menjadi sumber data, biasanya termasuk penentuan informan pangkal (key informan).
2.    Data yang diperoleh (melalui teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan) diklasifikasikan dengan cara mencari persamaan dan perbedaannya sehingga melahirkan kategori-kategori. Kategori adalah hasil dari data setelah diklasifikasikan, tetapi ia bukan data itu sendiri.
3.    Kategori-kategori tersebut (setelah diketahui sifat-sifatnya) kemudian dihubungkan satu sama yang lain sehingga melahirkan hipotesis-hipotesis.
4.    Hipotesis itu kemudian dihubungkan lagi satu sama lain sehingga melahirkan hipotesis-hipotesis.
5.    Hipotesis-hipotesis itu kemudian dihubungkan lagi satu sama lain sehingga melahirkan jalur-jalur kecenderungan yang lebih umum yang akan menjadi inti dari teori yang akan muncul.

    Analisis Kompratif
Yang dimaksud dengan analisis kompratif ialah, bahwa analisis terhadap setiap data atau kategori yang muncul selalu dilakukan dengan cara meperbandingkannya satu sama lain, dengan analisis komparatif tidak perlu dibayangkan bahwa lokasi penelitian harus luas dan berserak-serak karena analis komparatif dapat digunakan untuk segala ukuran unit sosial. Prinsipnya kerja metode analisis ini terdiri atas dua tahap pokok, yaitu :
~    Memperbandingkan setiap data untuk memunculkan berbagai kategori.
~    Memperbandingkan dan mengintegrasikan kategori-kategori dan sifat-sifatnya untuk memunculkan hipotesis dan memberikan batasan teori.
Gambaran tentang beberapa gambaran yang ada dalam menganalisis data kualitatif pada umumnya, kiranya dapat diikuti dan menjelaskan arti analisis komparatif tersebut. Pada dasarnya, pendekatan untuk menganalisis data kualitatif itu terdiri atas empat macam, yaitu :
~    Peneliti melakukan pengkodean terlebih dahulu baru kemudian melakukan analisis dan bermaksud untuk menguji teori.
~    Peneliti langsung merumuskan ide-ide dan analisis secara serempak dengan tujuan untuk merumuskan teori melalui beberapa tingkat hipotesis.
~    Peneliti melakukan pengkodean dan analisis secara serempak dengan tujuan untuk merumuskan teori melalui beberapa tingkat.
~    Penelitian melakukan induksi analisis dengan kombinasi pendekatan pertama dan kedua, dengan maksud merumuskan dan membuktikan teori sekaligus. Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang menggunakan constant comparative method yang disarankan oleh grounded research.
Beberapa contoh penelitian yang dilalukan dengan studi komparatif tetapi bukan sebagaimana dimaksud oleh grounded research menurut Glaser dan Strauss, antara lain: Gay Swanson, The birth of the Gods (University of Michigan Press : 1960) dan Robert Blauner, Alienation and Freedon (University of Chicago: 1964 ), yang keduanya dinilai menggunakan metode komperatif tetapi untuk tujuan verifikatif; kemudian Emitai Etzioni, A comparative Analysis of Complex Organization (Illinois Free Press: 1961) yang dinilai sebagai kombinasi antara teori deduksi logis dan teori grouded; Cilfford Geertz, Peddlers and Princes (University of Chicago Press: 1963), dinilai perumusan teotrinya cukup grounded tetapi group yang diperbandingkan terlalu terbatas; dan Anselm Strauss et al, Peychiatric Idealogis and Instritutions (Free Prees of Glencoe: 1964), yang merumuskan teorinya dinilai cukup grounded tetapi tidak cukup integrated, dan lain-lain.

    Kekuatan dan Kelemahan Grounded Research.
Walaupun uraian singkat diatas mungkin belum dapat menjelaskan tentang grounded research sebagai kebulatan pengertian, namun cukuplah kiranya memberikan gambaran awal tentang celah-celah kekuatan dan kelemahan metode penelitian ini.
Kekuatan penelitian dengan metode ini ialah, data bisa lebih lengkap dan lebih mendalam karena langsung dianalisis, sehingga sesuatu yang dianggap sebagai lowongan data segera akan dapat diketahui dan disempurnakan. Teori yang akan munculpun terbuka dari kemungkinan yang lebih banyak, dibandingkan dengan penelitian verifikatif yang hanya terbatas pada sutu kemungkinan, yaitu menerima atau menolak hipotesis atau menolak hipotesis atau teori yang diuji.
Kelemahan metode ini terletak pada sudutnya menentukan saat yang tepat kapan penelitian harus berhenti, karena hipotesis yang sudah dibangun dapat jatuh kembali berhubungan dengan datangnya data baru yang membatalkannya, dan dapat dibangun kembali bila datang lagi data baru yang menyokongnya. Demikianlah hipotesis jatuh bangun karena datangnya data baru, sehingga sulit menentukan mana hipotesis yang final. Akan tetapi menurut Glaser dan Strauss, justru disini pula letak perbedaan metode ini dari metode penelitian lain. Metode penelitian verifikatif cenderung melihat hasil penelitian sebagai sesuatu yang final, sendangkan grounded research melihat suatu hasil penelitian hanyalah sebagai suatu jedah dari proses merumuskan teori yang sebenarnya tidak pernah berakhir. Untuk inilah grounded research menawarkan prosedur yang disebut theoretical saturation (kejenuhan teoritis) yaitu criteria untuk menetapkan kapan harus mengakhiri pencarian data dari setiap kategori.
Kelemahan lain dari grouded research terletak pada pandangan dasarnya, bahwa untuk memahami suatu data tidak perlu digunakan suatu teori tertentu, melainkan semata-mata menurut kepekaan dan keluasan wawasan (theoretical insight) peneliti. Pandangan ini agaknya didasarkan atas asumsi bahwa seorang penelitian sosial sudah barang tentu sebelumnya telah mempelajari dan menguasai berbagai teori sosial, khususnya menangani masalah yang bersangkutan. Asumsi ini mungkin tepat untuk Negara-negara maju yang telah memiliki tenaga-tenaga penelitian yang telah menguasai teori sosial. Akan tetapi untuk Negara-negara baru berkembang yang tenaga-tenaga penelitiannya belum memiliki penguasaan dasar teori yang cukup, maka penggunaan metode grouded research dapat menghasilkan laporan penelitian yang tidak berbeda dengan laporan seorang wartawan. Dari sinilah lahirnya pendapat bahwa dalam kaitannya untuk memajukan ilmu pengetahuan sosial di Negara berkembang seperti Indonesia, maka menggunakan metode grounded research adalah kurang tepat.

    Mesjid dan Bakul Keramat: Sebuah Aplikasi Grounded Research.
Sebagai contoh penelitian agama sebagai gejala sosial yang menggunakan metode grounded research adalah sebuah hasil peneltian yang berjudul “Mesjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam masyarakat Bugis Amparita”. Penelitian ini mempelajari bagaimana tiga kelompok keagamaan dimana orang Islam, orang Towano Tolitang, dan orang Tolitang Benteng di desa Amparita, Sulawesi Selatan, berinteraksi atau sama lain, kadang-kadang dalam bentuk konflik dan kandang-kadang dalam bentuk kerja sama atau bahkan integrasi. Pada aspek kehidupan apa saja yang mendorong konflik dan integrasi itu?
Penelitian itu menemukan, bahwa konflik antara ketiga kelompok itu bermula dari soal keagamaan kemudian bertambah intesitas dan kempleksitasnya setelah kemasukan unsur politik. Setelah itu berbagai pranata sosial seperti perkawinan, pendidikan agama, aturan agama, aturan tentang makanan dan lain-lain berfungsi melestarikan konflik tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar