Cari Blog Ini

Jumat, 10 Februari 2012

Tokoh dan Penulis Karya Sastra

I.    Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945
A.    Chairil Anwar















Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 - meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.
Lahir 26 Juli 1922
 Medan, Sumatera Utara, Hindia Belanda Meninggal 24 April 1949
 Jakarta, Indonesia Pekerjaan penyair Kebangsaan  Indonesia Suku bangsa Suku Minang Periode menulis 1942 - 1949 Angkatan Angkatan '45 Karya terkenal Krawang Bekasi
1. Masa kecil
Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. [1] Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. [2]
Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.
2. Masa dewasa
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.[3]. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.[4] Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.[5][6]
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
3. Akhir hidup
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC[7] Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.
4. Karya tulis yang diterbitkan
•    Deru Campur Debu (1949)
•    Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
•    Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
•    "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
•    Derai-derai Cemara (1998)
•    Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
•    Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck


B.    Asrul Sani




















Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926 - meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004 pada umur 77 tahun) adalah seorang sastrawan dan sutradara film asal Indonesia. Menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (1955). Pernah mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di Universitas Harvard (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika Serikat (1956), kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).
Asrul pernah menjadi Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia, Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Dewan Film Indonesia, dan anggota Akademi Jakarta (seumur hidup).
Karyanya: Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972), Mantera (kumpulan sajak, 1975), Mahkamah (drama, 1988), Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988), dan Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997).
Buku mengenai Asrul: M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967) dan Ajip Rosidi dkk. (ed.), Asrul Sani 70 Tahun, Penghargaan dan Penghormatan (1997).
Di samping menulis sajak, cerpen, dan esai, Asrul juga dikenal sebagai penerjemah dan sutradara film. Terjemahannya: Laut Membisu (karya Vercors, 1949), Pangeran Muda (terjemahan bersama Siti Nuraini; karya Antoine de St-Exupery, 1952), Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (karya Ricard Boleslavsky, 1960), Rumah Perawan (novel Yasunari Kawabata, 1977), Villa des Roses (novel Willem Elschot, 1977), Puteri Pulau (novel Maria Dermount, 1977), Kuil Kencana (novel Yukio Mishima, 1978), Pintu Tertutup (drama Jean Paul Sartre, 1979), Julius Caesar (drama William Shakespeare, 1979), Sang Anak (karya Rabindranath Tagore, 1979), Catatan dari Bawah Tanah (novel Fyodor Dostoyeski, 1979), Keindahan dan Kepiluan (novel Yasunari Kawabata, 1980), dan Inspektur Jenderal (drama Nicolai Gogol, 1986).
Film yang disutradarainya: "Pagar Kawat Berduri" (1963), "Apa Jang Kau Tjari, Palupi?" (1970), "Salah Asuhan" (1974), "Bulan di Atas Kuburan" (1976), "Kemelut Hidup" (1978), "Di Bawah Lindungan Kaabah" (1978), dan lain-lain.
Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI.









II.    Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru

A.    Haji Abdul Malik Karim Amrullah


















Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya, (lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 - meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Lahir 17 Februari 1908
 Maninjau, Hindia Belanda Meninggal 24 Juli 1981 (73 tahun)
 Jakarta, Indonesia Kebangsaan  Indonesia Suku bangsa Suku Minang Angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka Karya terkenal Di Bawah Lindungan Ka'bah
1. Biografi
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Hindia Belanda (saat itu). Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
2. Daftar Karya Buya Hamka
1.    Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
2.    Si Sabariah. (1928)
3.    Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
4.    Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
5.    Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
6.    Kepentingan melakukan tabligh (1929).
7.    Hikmat Isra' dan Mikraj.
8.    Arkanul Islam (1932) di Makassar.
9.    Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
10.    Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar.
11.    Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.
12.    Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.
13.    Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.
14.    Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
15.    Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
16.    Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
17.    Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
18.    Tuan Direktur 1939.
19.    Dijemput mamaknya,1939.
20.    Keadilan Ilahy 1939.
21.    Tashawwuf Modern 1939.
22.    Falsafah Hidup 1939.
23.    Lembaga Hidup 1940.
24.    Lembaga Budi 1940.
25.    Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepang 1943).
26.    Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
27.    Negara Islam (1946).
28.    Islam dan Demokrasi,1946.
29.    Revolusi Pikiran,1946.
30.    Revolusi Agama,1946.
31.    Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.
32.    Dibantingkan ombak masyarakat,1946.
33.    Didalam Lembah cita-cita,1946.
34.    Sesudah naskah Renville,1947.
35.    Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.
36.    Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.
37.    Ayahku,1950 di Jakarta.
38.    Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.
39.    Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
40.    Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
41.    Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
42.    Kenangan-kenangan hidup 2.
43.    Kenangan-kenangan hidup 3.
44.    Kenangan-kenangan hidup 4.
45.    Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
46.    Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
47.    Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
48.    Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
49.    Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
50.    Pribadi,1950.
51.    Agama dan perempuan,1939.
52.    Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.
53.    1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
54.    Pelajaran Agama Islam,1956.
55.    Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.
56.    Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.
57.    Empat bulan di Amerika Jilid 2.
58.    Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
59.    Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
60.    Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
61.    Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
62.    Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.
63.    Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.
64.    Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
65.    Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.
66.    Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.
67.    Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).
68.    Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).
69.    Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
70.    Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
71.    Himpunan Khutbah-khutbah.
72.    Urat Tunggang Pancasila.
73.    Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
74.    Sejarah Islam di Sumatera.
75.    Bohong di Dunia.
76.    Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
77.    Pandangan Hidup Muslim,1960.
78.    Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.
3. Aktivitas lainnya
•    Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942
•    Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956
•    Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-1953









B.    Sutan Takdir Alisjahbana




















   
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 - meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4.
Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Lahir 11 Februari 1908
Mandailing, Natal Meninggal 17 Juli 1994 (umur 86)
Jakarta Kebangsaan  Indonesia Angkatan Pujangga Baru Karya terkenal Layar Terkembang Penghargaan Satyalencana Kebudayaan, 1970, Pemerintah RI.
1. Masa Kecil
Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal. Kakek STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas. Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.
2. Keterlibatan dengan Balai Pustaka
Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.
3. Sutan Takdir Alisjahbana dan Perkembangan Bahasa Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang,Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, buku mana masih dipakai sampai sekarang,serta Kamus Istilah yang berisi istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, Takdir adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- Bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967)
Direktur Cenfer for Malay Studies Universitas Malaya tahun 1060-1968
4. Karya-karyanya
4. 1. Sebagai penulis
•    Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
•    Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
•    Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
•    Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
•    Layar Terkembang (novel, 1936)
•    Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
•    Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
•    Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
•    Pelangi (bunga rampai, 1946)
•    Pembimbing ke Filsafat (1946)
•    Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
•    The Indonesian language and literature (1962)
•    Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
•    Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
•    Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
•    Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
•    The failure of modern linguistics (1976)
•    Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
•    Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
•    Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
•    Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
•    Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
•    Kalah dan Menang (novel, 1978)
•    Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
•    Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
•    Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
•    Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
•    Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
•    Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
•    Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
4. 2. Sebagai editor
•    Kreativitas (kumpulan esai, 1984)
•    Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
4. 3. Sebagai penerjemah
•    Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)
•    Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944)
4. 4. Buku tentang Sutan Takdir Alisyahbana
•    Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999)
•    S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006)
5. Penghargaan
•    Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
•    STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan "Pujangga Baru".
•    Doktor Kehormatan dari School For Oriental And African Studies London 2 Mei 1990
•    DR.HC dari Universitas Indonesia
•    DR.HC dari Universitas Sains Malaysia
6. Lain-lain
Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.





C.    Amir Hamzah


















Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 - meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.
Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.
Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar (tt.).
Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.
Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Lahir Tanjung Pura, 28 Februari 1911.
Meninggal Kuala Begumit, 20 Maret 1946.
Kebangsaan  Indonesia Suku bangsa Melayu Angkatan Pujangga Baru Karya terkenal Buah Rindu Penghargaan Pahlawan Nasional, Pemerintah RI.

















III.    Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka

A.    Mohammad Yamin

















Mr. Prof. Muhammad Yamin, SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 - meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Talawi, Sawahlunto
Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di Indonesia, serta juga 'pencipta mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno.
________________________________________
Menteri Penerangan ke-14

Masa jabatan
6 Maret 1962 - 13 November 1963

Presiden    Soekarno

Pendahulu    Maladi

Pengganti    Roeslan Abdulgani

________________________________________
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia ke-8

Masa jabatan
30 Juli 1953 - 12 Agustus 1955

Presiden    Soekarno

Pendahulu    Bahder Djohan

Pengganti    R.M. Suwandi

________________________________________
Menteri Kehakiman Republik Indonesia ke-6

Masa jabatan
27 April 1951 - 3 April 1952

Presiden    Soekarno

Pendahulu    Wongsonegoro

Pengganti    Lukman Wiriadinata

________________________________________
Lahir    24 Agustus 1903
 Sawahlunto, Sumatera Barat, Hindia Belanda

Meninggal    17 Oktober 1962 (umur 59)
 Jakarta, Indonesia

Kebangsaan    Indonesia

Agama    Islam

1. Biografi
1. 1. Kesusasteraan
Dilahirkan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern pertama dalam bahasa Melayu juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga merupakan seorang Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun .
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini amat penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa muncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir dekade 1920-an sehingga tahun 1933, Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan pionir-pionir utama bahasa Melayu-Indonesia dan kesusasteraannya.
Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, dia masih lebih menepati norma-norma klasik bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah dan puisi yang lain, serta juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.
1. 2. Politik
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di Jakarta. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta sehingga tahun 1942. Karier politiknya dimulai dan beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II menetapkan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa gerakan nasionalis Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangsaan. Oleh itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta alat utama dalam kesusasteraan inovatif.
Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, beliau mencadangkan bahwa sebuah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) diasaskan serta juga bahwa negara yang baru mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah Hindia Belanda. Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPK menyokong Yamin. Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.
Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat.
2. Karya-karyanya
•    Tanah Air, 1922
•    Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
•    Ken Arok dan Ken Dedes, 1934
•    Sedjarah Peperangan Dipanegara , 1945
•    Gadjah Mada, 1948
•    Revolusi Amerika, 1951






B.    Abdoel Moeis


















Abdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 - meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang sastrawan dan wartawan Indonesia. Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada tahun 1918 mewakili Centraal Sarekat Islam.[1] Ia dimakamkan di TMP Cikutra - Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959)[2].
1. Karier
Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Dia sempat menjadi Pemimpin Redaksi Kaoem Moeda sebelum mendirikan surat kabar Kaoem Kita pada 1924. Selain itu ia juga pernah aktif dalam Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan
2. Riwayat Perjuangan
•    Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express
•    Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera bersama dengan Ki Hadjar Dewantara
•    Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat
•    Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School - Institut Teknologi Bandung (ITB)
3. Karya Sastra
•    Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972),diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul Never the Twain oleh Lontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia
•    Pertemuan Jodoh (novel, 1933)
•    Surapati (novel, 1950)
•    Robert Anak Surapati(novel, 1953)
4. Terjemahannya
•    Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)
•    Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)
•    Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)
•    Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)








Anak Agung Pandji Tisna

















Anak Agung Pandji Tisna (lahir di Buleleng, 11 Februari 1908 - meninggal 2 Juni 1978 pada umur 70 tahun), yang dikenal pula dengan nama Anak Agung Nyoman Pandji Tisna atau I Gusti Nyoman Pandji Tisna, adalah keturunan ke-11 dari dinasti raja Buleleng di Bali Utara, Anglurah Pandji Sakti. Ia mewarisi takhtanya dari ayahnya, Anak Agung Putu Djelantik, pada 1944. Dalam buku karangannya sendiri yang berjudul I Made Widiadi, pada halaman terakhir disebutkan bahwa ia sejak semula tidak mau diangkat raja. Karena tentara pendudukan Jepang memerlukan, maka dengan dipaksa ia diangkat sebaga "syucho".
Dalam kedudukannya sebagai raja, pada 1946 ia menjadi Ketua Dewan Raja-raja se-Bali (Paruman Agung) dan menjadi pemimpin Bali pada saat itu yang setara dengan jabatan gubernur. Anak Agung Pandji Tisna juga unik karena beragama Kristen, di tengah masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu. Karena itu, ia sendiri menulis bahwa karena ia beragama Kristen sementara masyarakatnya beragama Hindu, ia tidak cocok menjadi raja Buleleng.
Tahun 1947 ia secara sadar turun dari takhta kerajaan. Kedudukan raja dilanjutkan oleh adiknya Anak Agung Ngurah Ketut Djelantik atau I Gusti Ketut Djelantik yang dikenal dengan nama Meester Djelantik sampai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949 dan Anak Agung Ketut Djelantik menjadi raja Buleleng terakhir.
Anak Agung Pandji Tisna meninggal dunia 2 Juni 1978 dan dikuburkan dengan upacara agama Kristen di tanah pekuburan pribadinya di atas sebuah bukit di desa Seraya - Kaliasem di sebelah sebuah gereja yang telah lebih dahulu dibangun olehnya.
1. Pendidikan, menjadi sastrawan
Anak Agung Pandji Tisna mendapatkan pendidikan formalnya di HIS di Singaraja dan kemudian MULO di Batavia.
Oleh masyarakat luas, Anak Agung Pandji Tisna lebih dikenal sebagai pengarang novel. Roman-romannya diterbitkan oleh Balai Pustaka, yang semuanya mengambil tempat di Bali, terutama di daerah Singaraja, tempat kelahirannya. Cerita-cerita pendeknya banyak dimuat dalam majalah "Terang Boelan" yang terbit di Surabaya. Ia juga sempat menulis sejumlah puisi, di antaranya "Ni Poetri", yang diterbitkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam majalah "Poedjangga Baroe" di Jakarta.
2. Perintis pariwisata
Pandji Tisna juga terkenal karena ia merupakan tokoh perintis pariwisata Bali, khususnya di daerah pantai utara. Pada tahun 1953 Pandji Tisna memilih lokasi Desa Tukad Cebol (kini Desa Kaliasem) sebagai tempat peristirahatannya. Di situ ia menulis dan menerima tamu-tamunya dari dalam maupun luar negeri. Tempat peristirahannya itu dinamainya "Lovina", yaitu singkatan dari kata "Love Indonesia". Setelah itu, Pandji Tisna mendirikan tempat-tempat penginapan di pantai barat Buleleng tersebut, dan seluruh daerah itu kemudian dikenal sebagai pantai Lovina. Karena itu Pandji Tisna juga diakui sebagai "Bapak Pariwisata Bali". Pada tahun 2003, Pemerintah Daerah Bali menganugerahi kepadanya secara anumerta penghargaan "Karya Karana" sebagai pengakuan atas jasa-jasanya dalam pengembangan pariwisata Bali.
3. Keluarga
Anak Agung Pandji Tisna dilahirkan dari AA Putu Djelantik dengan istrinya Jero Mekele Rengga. Ia sendiri pernah mempunyai empat orang istri, yaitu Anak Agung Istri Manik, Ni Ketut Mayas (Jero Mekele Seroja), Luh Sayang (Mekele Sadpada), dan Jro Mekele Resmi.

4. Menjadi Kristen
Pandji Tisna memeluk agama Kristen pada masa penjajahan Jepang. Suatu hari istrinya, Mekele Seroja, menjemur sehelai bendera Belanda. Hal ini menimbulkan kecurigaan polisi Jepang yang sedang berpatroli bahwa Pandji Tisna adalah seorang antek Belanda. Ditambah lagi di kamar Pandji Tisna ditemukan sebuah kitab Injil berbahasa Belanda, yang merupakan pemberian adiknya, Meester Djelantik.
Pandji Tisna ditangkap dan ditahan di Singaraja. Namun berkat bantuan Miora, seorang spion beragama Kristen, akhirnya Pandji Tisna diselamatkan. Sejak itu ia berjanji untuk mempelajari Alkitab dan menjadi seorang Kristen. Pada tahun itu pula datang seorang pendeta Kristen yang bernama A.F. Ambesa ke rumah kediaman Pandji Tisna di pantai Kampung Baru, sekarang bernama pantai Lovina. Setahun kemudian Pandji Tisna dibaptiskan sebagai orang Kristen.
5. Karya tulis
•    I Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan) (1955)
•    I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)
•    Sukreni Gadis Bali (1936) (pertama-tama terbit dalam bahasa Bali, kini sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa lain)
o    "Bali Taruniyan Dedenekuge Kathawa", edisi bahasa Sinhala terj. Dr. P. G. Punchihewa
o    "The Rape of Sukreni", edisi bahasa Inggris, terj. George Quinn
•    Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)
o    "Panglajar djadi tjoelik", (1940) terjemahan bahasa Sunda oleh Soerjana
6. Buku tentang Anak Agung Pandji Tisna dan karyanya
•    The Last King of Singaraja, Bali, oleh Prof. I Gusti Ngurah Gorda
•    Warna lokal Bali dalam novel Sukreni gadis Bali karya Anak Agung Pandji Tisna oleh Made Pasek Parwatha








Sanusi Pane















Sanusi Pane (lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905 - meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara 1920-an sampai dengan 1940-an.
1. Keluarga
Sanusi Pane adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane yang merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.
2. Pendidikan
Semasa mudanya, Sanusi Pane menempuh pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pendidikannya selanjutnya adalah di MULO di Padang dan Jakarta, yang diselesaikannya tahun 1922. Ia lalu melanjutkan di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, yang selesai pada tahun 1925. Ia lalu mengajar di sekolah tersebut, sebelum dipindahkan ke Lembang dan menjadi HIK. Ia juga sempat kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari Ontologi. Pada antara tahun 1929-1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap pandangan kesusastraannya.
3. Karir
Sekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah "Timbul" yang berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Karena keanggotaannya dalam PNI, tahun 1934 ia dipecat. Ia kemudian pemimpin sekolah dan guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta. Tahun 1936 Sanusi Pane menjadi pemimpin suratkabar Tionghoa-Melayu "Kebangunan" di Jakarta; dan tahun 1941 ia menjadi redaktur Balai Pustaka.
4. Pandangan
Dalam bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana.[1] Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau.[2] Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesa Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya "Manusia Baru", yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940.
5. Karya
Sanusi Pane cukup produktif dalam menghasilkan karya kesusastraan, diantaranya sebagai berikut:
•    Pancaran Cinta (1926)
•    Prosa Berirama (1926)
•    Puspa Mega (1927)
•    Kumpulan Sajak (1927)
•    Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928)
•    Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929)
•    Madah Kelana (1931)
•    Kertajaya (drama, 1932)
•    Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933)
•    Manusia Baru (drama, 1940)
•    Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940)



Armijn Pane















Lahir Muara Sipongi, 18 Agustus 1908.
Meninggal Jakarta, 16 Februari 1970.
Kebangsaan  Indonesia Angkatan Pujangga Baru Karya terkenal Belenggu
Armijn Pane, lahir di Muara Sipongi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, 18 Agustus 1908 - meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun, adalah seorang Sastrawan Indonesia. Penulis yang terkenal keterlibatannya dengan majalah Pujangga Baru. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, Armijn Pane mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra.
Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane, kemampuan menilai dan menimbang yang adil dan tidak terlalu terpengaruhi suasana pergerakan nasionalisme yang terutama di perioda akhir Pujangga Baru menjadi sangat politis dan dikotomis.
Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah novel Belenggu.
1. Bibliografi
•    Puisi
o    Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960
o    Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
•    Novel
o    Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991
•    Kumpulan Cerpen
o    Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940
o    Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979
•    Drama
o    Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.
2. Pranala luar
•    (id) Laman Pusat Bahasa - Armijn Pane











Idrus















Abdullah Idrus (lahir di Padang, Sumatera Barat, 21 September 1921 - meninggal di Padang, Sumatera Barat, 18 Mei 1979 pada umur 57 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia menikah dengan Ratna Suri, pada tahun 1946. Mereka dikaruniai enam orang anak, empat putra dan dua putri, yaitu Prof. Dr. Ir. Nirwan Idrus, Slamet Riyadi Idrus, Rizal Idrus, Damayanti Idrus, Lanita Idrus, dan Taufik Idrus.
1. Dunia Sastra
Perkenalan Idrus dengan dunia sastra sudah dimulainya sejak duduk di bangku sekolah, terutama ketika di bangku sekolah menengah. Ia sangat rajin membaca karya-karya roman dan novel Eropa yang dijumpainya di perpustakaan sekolah. Ia pun sudah menghasilkan cerpen pada masa itu.
Minatnya pada dunia sastra mendorongnya untuk memilih Balai Pustaka sebagai tempatnya bekerja. Ia berharap dapat menyalurkan minat sastranya di tempat tersebut, membaca dan mendalami karya-karya sastra yang tersedia di sana dan berkenalan dengan para sastrawan terkenal. Keinginannya itu pun terwujud, ia berkenalan dengan H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisyahbana, Noer Sutan Iskandar, Anas Makruf, dan lain-lain.
Meskipun menolak digolongkan sebagai sastrawan Angkatan ’45, ia tidak dapat memungkiri bahwa sebagian besar karyanya memang membicarakan persoalan-persoalan pada masa itu. Kekhasan gayanya dalam menulis pada masa itu membuatnya memperoleh tempat terhormat dalam dunia sastra, sebagai Pelopor Angkatan ’45 di bidang prosa, yang dikukuhkan H.B. Jassin dalam bukunya.
Hasratnya yang besar terhadap sastra membuatnya tidak hanya menulis karya sastra, tetapi juga menulis karya-karya ilmiah yang berkenaan dengan sastra, seperti Teknik Mengarang Cerpen dan International Understanding Through the Study of Foreign Literature. Kemampuannya menggunakan tiga bahasa asing (Belanda, Inggris, dan Jerman) membuatnya berpeluang untuk menerjemahkan buku-buku asing. Hasilnya antara lain adalah Perkenalan dengan Anton Chekov, Perkenalan dengan Jaroslov Hask, Perkenalan dengan Luigi Pirandello, dan Perkenalan dengan Guy de Maupassant.
Karena tekanan politik dan sikap permusuhan yang dilancarkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat terhadap penulis-penulis yang tidak sepaham dengan mereka, Idrus terpaksa meninggalkan tanah air dan pindah ke Malaysia. Di Malaysia, lepas dari tekanan Lekra, ia terus berkarya. Karyanya saat itu, antara lain, Dengan Mata Terbuka (1961) dan Hati Nurani Manusia (1963).
Di dalam dunia sastra, kehebatan Idrus diakui khalayak sastra, terutama setelah karyanya Surabaya, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan Aki diterbitkan. Ketiga karyanya itu menjadi karya monumental. Setelah ketiga karya itu, memang, pamor Idrus mulai menurun. Namun tidak berarti ia lantas tidak disebut lagi, ia masih tetap eksis dengan menulis kritik, esai, dan hal-hal yang berkenaan dengan sastra di surat kabar, majalah, dan RRI (untuk dibacakan).
2. Karya-karya
2. 1. Novel
•    SurAki'abaya
•    Perempuan dan kebangsaan
•    Dengan Mata Terbuka
•    Hati Nurani Manusia
•    Hikayat Putri Penelope
•    Hikayat Petualang Lima
•    NJ mania KEBANTENAN
•    Aki
2. 2. Cerpen
•    Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
•    Anak Buta
2. 3. Drama
•    Dokter Bisma
•    Jibaku Aceh
•    Keluarga Surono
•    Kejahatan Membalas Dendam
2. 4. Karya Terjemahan
•    Kereta Api Baja
•    Roti Kita Sehari-hari
•    Keju
•    Perkenalan dengan Anton Chekov
•    Cerita Wanita Termulia
•    Dua Episode Masa Kecil
•    Ibu yang Kukenang
•    Acoka
•    Dari Penciptaan Kedua
3. Pranala luar
•    (Indonesia) Pusat Bahasa Depdiknas
















W. S. Rendra

















Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra; lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 - meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.
Nama lahir Willibrordus Surendra Bawana Rendra Nama lain W.S. Rendra
Rendra Lahir 7 November 1935
 Solo, Indonesia Meninggal 6 Agustus 2009 (umur 73)
Jakarta, Indonesia Pekerjaan aktor, penyair
1. Masa kecil
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
2. Pendidikan
•    TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
•    SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955.
•    Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tidak tamat.
•    mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).
3. Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
4. Bengkel Teater dan Bengkel Teater Rendra
Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternyapun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.
Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari.


Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, ebony, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong dan lain-lain.
5. Penelitian tentang karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
6. Penghargaan
•    Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
•    Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
•    Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
•    Hadiah Akademi Jakarta (1975)
•    Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
•    Penghargaan Adam Malik (1989)
•    The S.E.A. Write Award (1996)
•    Penghargaan Achmad Bakri (2006).
7. Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.
Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Mikriam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
Sejak tahun 1977 ketika ia sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, "Yang Muda Yang Bercinta" ia dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul "Seni Drama Untuk Remaja" dengan nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja sejak 1975.
8. Beberapa karya
8. 1. Drama
•    Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
•    Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967
•    SEKDA (1977)
•    Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
•    Mastodon dan Burung Kondor (1972)
•    Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
•    Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
•    Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
•    Lysistrata (terjemahan)
•    Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
•    Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
•    Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
•    Lingkaran Kapur Putih
•    Panembahan Reso (1986)
•    Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
•    Shalawat Barzanji
•    Sobrat
8. 2. Kumpulan Sajak/Puisi
•    Ballada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
•    Blues untuk Bonnie
•    Empat Kumpulan Sajak
•    Sajak-sajak Sepatu Tua
•    Mencari Bapak
•    Perjalanan Bu Aminah
•    Nyanyian Orang Urakan
•    Pamphleten van een Dichter
•    Potret Pembangunan Dalam Puisi
•    Disebabkan Oleh Angin
•    Orang Orang Rangkasbitung
•    Rendra: Ballads and Blues Poem
•    State of Emergency

Tidak ada komentar:

Posting Komentar